Kamis, 05 Februari 2009

SEJARAH KERAJAAN BOLMONG

Bolaang Mongondow (BM),1 adalah Daerah yang terletak di utara pulau Sulawesi memanjang dari barat ke timur dan diapit oleh dua kabupaten lainnya, yaitu Gorontalo Utara dan Minahasa. Secara geografis daerah ini terletak antara 100,30" LU dan 0020" serta antara 16024'0" BT dan 17054'0" BT. Sebelah utara dibatasi laut sulawesi, selatan dengan teluk Tomini, Timur Kabupaten Minahasa dan Barat dengan Provinsi Gorontalo. Kabupaten BM merupakan kabupaten dengan luas wilayah terbesar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu mencapai 8.358,04 km2. Secara administratif Kabupaten BM terbagi dalam lima wilayah kabupaten/ kota, yakni Kabupaten BM Utara dengan Ibu Kota Buroko, Kabupaten BM Selatan dengan Ibu Kota Molibagu, Kabupaten BM Timur dengan Ibu kota Tutuyan, Kabupaten BM Induk dengan Ibu Kota Lolak dan Kota Kotamobagu dengan ibu kota kotamobagu.

Secara historis, BM adalah sebuah daerah (landschap) yang berdiri sendiri dan memerintah sendiri dan masih merupakan daerah tertutup sapai dengan akhir abad 19. Hubungan dengan luar (asing) hanyalah hubungan dagang yang diadakan melalui kontrak dengan raja-raja yang memerintah pada saat itu. Dengan masuknya pengaruh pemerintahan bangsa asing (Belanda) pada sekitar tahun 1901, maka secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang didalamnya termasuk landschap Bintauna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari Afdeling Manado.2

Sejak abad ke 16, wilayah kabupaten BM telah berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan. Beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah ini antara lain : kerajaan BM yang berkedudukan di Bolaang, dan empat kerajaan lainnya di wilayah Pantai Utara BM, yakni ; 1). kerajaan Bolaang Uki berkedudukan di Walugu, 2). kerajaan Bintauna dengan beberapa kali berpindah ibu kota, antara lain : Panayo, Minanga, dan Pimpi, 3). kerajaan Bolaang Itang yang berkedudukan di Bolaang Itang dan 4). kerajaan Kaidipang dengan Ibu kotanya Buroko. 3

Dari lima kerajaan yang berkuasa di wilayah BM, sebagaimana yang disebutkan diatas, kerajaan BM adalah kerajaan yang memiliki letak geografis yang lebih besar. Kerajaan lainnya seperti Kerajaan Bolaang Uki, kerajaan Bintauna, kerajaan Bolaang Itang dan kerajaan Kaidipang berada di bagian utara BM (sekarang BM Utara) memiliki luas geografis kurang lebih 1.843,92 km2,4 sedangkan kerajaan BM menguasai wilayah ; dari Timur, Selatan dan pusat/induk kabupaten BM memiliki luas wilayah kurang lebih 6.514, 12 km2. Itu artinya wilayah kekuasaan kerajaan BM kurang lebih tiga kali lipat wilayah kekuasaan ke-empat kerajaan di bagian Utara BM diatas.

Selanjutnya, kerajaan-kerajaan di wilayah Utara BM (kerajaan Bolaang Uki, Bintauna, Bolaang Itang dan Kaidipang) dari tahun 1872-1950, secara keseluruhan hanya memiliki enam orang Raja. Sedangkan kerajaan di wilayah BM yang eksis sejak 1670-1950 memiliki 19 orang Raja. Disamping itu, kerajaan BM yang menjadi fokus penelitian ini, telah berdaulat/berkuasa sejak 2 abad atau 200 tahun setelah kemudian jauh sebelumnya kerajaan-kerajaan wilayah Utara BM berdaulat/ berkuasa.

Sekitar abad 20, BM terdiri dari beberapa distrik, yaitu: Mongondow (Passi dan Lolayan), serta onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga. Secara politik, Kerajaan BM berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan pada semua wilayah Kerajaan. Fungsi sosial Kerajaan BM (1653-1693) pada awalnya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan dimana raja memerintah secara otonom tanpa dipengaruhi atau diperintah oleh pemerintah manapun. Pada tahun 1694-1950 ketika Belanda masuk ke wilayah Bolaang Mongondow, Kerajaan BM tidak ada pilihan lain kecuali sebagai alat legitimasi imperialisme (dalam bentuk kontrak politik) dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini, yang menjadi masalah adalah belum ada penelitian yang ilmiah tentang bagaimana sistem pemerintahan dan struktur sosial yang ada di wilayah kerajaan BM sebelum dan sesudah masuknya pemerintah kolonial Belanda dalam melaksanakan interfensinya terhadap pemerintahan kerajaan.

Dengan masuknya Islam yang kemudian menjadi agama Kerajaan pada tahun 1880, maka seharusnya nilai-nilai spritual Islam secara bersamaan masuk dalam mekanisme pemerintahan dan sistem sosial Kerajaan BM. Sebagaimana hal ini juga terjadi pada beberapa kerajaan yang ada di Sekitarnya seperti Gorontalo dan Ternate. Belum diketahui penyebab sehingga agama Islam yang telah menjadi agama Raja dan rakyatnya kurang memberikan pengaruh terhadap sistem pemerintahan dan struktur sosial yang ada ketika itu.

Makanisme pelaksanaan Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow diatas sangat menarik untuk dikaji lebih dalam karena beberapa alasan. Antara lain adalah belum adanya penelitian ilmiah yang secara serius mengkaji masalah ini, disamping itu Kerajaan BM yang telah masuk Islam pada tahun 1880 namun tidak merubah bentuk Kerajaan-nya menjadi Sistem Kesultanan seperti yang terjadi pada Kerajaan yang ada di Yogyakarta, Ternate dan Gorontalo. Sistem politik yang dibangun dalam Kerajaan tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar bagi tercapainya akselerasi budaya dan etika pemerintahan kearah yang lebih baik. Masuknya pengaruh agama adalah salah satu indikator maju dan berkembangnya nilai moralitas dalam pelaksaan pemerintahan Kerajaan

1 Sering juga disingkat “Bolmong”, Belanda menyebut “Bulan”, beberapa daerah disekitarnya menggunakan kata Bolmong untuk menyebut kabupaten Bolaang Mongondow. Selanjutnya dalam penelitian ini disingkat “BM”

2 Www. Bolmong. Com. Diakses pada tgl, 23 Januari 2009

3 A.T. Mokobombang, Napak Tilas Mengikuti Jiwa dan Jejak Merah Putih Kawasan Utara Propinsi Celebes, 1995, (belum diterbitkan)

4 Wilayah Bolaang Mongondow Utara hasil Pemekaran dari KabupatenBolaang Mongondow berdasarkan data Panitia Pemekaran Bolmong Utara tahun 2007

SEJARAH

A. Latar Belakang Masalah

Bolaang Mongondow (BM),1 adalah Daerah yang terletak di utara pulau Sulawesi memanjang dari barat ke timur dan diapit oleh dua kabupaten lainnya, yaitu Gorontalo Utara dan Minahasa. Secara geografis daerah ini terletak antara 100,30" LU dan 0020" serta antara 16024'0" BT dan 17054'0" BT. Sebelah utara dibatasi laut sulawesi, selatan dengan teluk Tomini, Timur Kabupaten Minahasa dan Barat dengan Provinsi Gorontalo. Kabupaten BM merupakan kabupaten dengan luas wilayah terbesar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu mencapai 8.358,04 km2. Secara administratif Kabupaten BM terbagi dalam lima wilayah kabupaten/ kota, yakni Kabupaten BM Utara dengan Ibu Kota Buroko, Kabupaten BM Selatan dengan Ibu Kota Molibagu, Kabupaten BM Timur dengan Ibu kota Tutuyan, Kabupaten BM Induk dengan Ibu Kota Lolak dan Kota Kotamobagu dengan ibu kota kotamobagu.

Secara historis, BM adalah sebuah daerah (landschap) yang berdiri sendiri dan memerintah sendiri dan masih merupakan daerah tertutup sapai dengan akhir abad 19. Hubungan dengan luar (asing) hanyalah hubungan dagang yang diadakan melalui kontrak dengan raja-raja yang memerintah pada saat itu. Dengan masuknya pengaruh pemerintahan bangsa asing (Belanda) pada sekitar tahun 1901, maka secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang didalamnya termasuk landschap Bintauna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari Afdeling Manado.2

Sejak abad ke 16, wilayah kabupaten BM telah berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan. Beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah ini antara lain : kerajaan BM yang berkedudukan di Bolaang, dan empat kerajaan lainnya di wilayah Pantai Utara BM, yakni ; 1). kerajaan Bolaang Uki berkedudukan di Walugu, 2). kerajaan Bintauna dengan beberapa kali berpindah ibu kota, antara lain : Panayo, Minanga, dan Pimpi, 3). kerajaan Bolaang Itang yang berkedudukan di Bolaang Itang dan 4). kerajaan Kaidipang dengan Ibu kotanya Buroko. 3

Dari lima kerajaan yang berkuasa di wilayah BM, sebagaimana yang disebutkan diatas, kerajaan BM adalah kerajaan yang memiliki letak geografis yang lebih besar. Kerajaan lainnya seperti Kerajaan Bolaang Uki, kerajaan Bintauna, kerajaan Bolaang Itang dan kerajaan Kaidipang berada di bagian utara BM (sekarang BM Utara) memiliki luas geografis kurang lebih 1.843,92 km2,4 sedangkan kerajaan BM menguasai wilayah ; dari Timur, Selatan dan pusat/induk kabupaten BM memiliki luas wilayah kurang lebih 6.514, 12 km2. Itu artinya wilayah kekuasaan kerajaan BM kurang lebih tiga kali lipat wilayah kekuasaan ke-empat kerajaan di bagian Utara BM diatas.

Selanjutnya, kerajaan-kerajaan di wilayah Utara BM (kerajaan Bolaang Uki, Bintauna, Bolaang Itang dan Kaidipang) dari tahun 1872-1950, secara keseluruhan hanya memiliki enam orang Raja. Sedangkan kerajaan di wilayah BM yang eksis sejak 1670-1950 memiliki 19 orang Raja. Disamping itu, kerajaan BM yang menjadi fokus penelitian ini, telah berdaulat/berkuasa sejak 2 abad atau 200 tahun setelah kemudian jauh sebelumnya kerajaan-kerajaan wilayah Utara BM berdaulat/ berkuasa.

Sekitar abad 20, BM terdiri dari beberapa distrik, yaitu: Mongondow (Passi dan Lolayan), serta onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga. Secara politik, Kerajaan BM berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan pada semua wilayah Kerajaan. Fungsi sosial Kerajaan BM (1653-1693) pada awalnya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan dimana raja memerintah secara otonom tanpa dipengaruhi atau diperintah oleh pemerintah manapun. Pada tahun 1694-1950 ketika Belanda masuk ke wilayah Bolaang Mongondow, Kerajaan BM tidak ada pilihan lain kecuali sebagai alat legitimasi imperialisme (dalam bentuk kontrak politik) dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini, yang menjadi masalah adalah belum ada penelitian yang ilmiah tentang bagaimana sistem pemerintahan dan struktur sosial yang ada di wilayah kerajaan BM sebelum dan sesudah masuknya pemerintah kolonial Belanda dalam melaksanakan interfensinya terhadap pemerintahan kerajaan.

Dengan masuknya Islam yang kemudian menjadi agama Kerajaan pada tahun 1880, maka seharusnya nilai-nilai spritual Islam secara bersamaan masuk dalam mekanisme pemerintahan dan sistem sosial Kerajaan BM. Sebagaimana hal ini juga terjadi pada beberapa kerajaan yang ada di Sekitarnya seperti Gorontalo dan Ternate. Belum diketahui penyebab sehingga agama Islam yang telah menjadi agama Raja dan rakyatnya kurang memberikan pengaruh terhadap sistem pemerintahan dan struktur sosial yang ada ketika itu.

Makanisme pelaksanaan Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow diatas sangat menarik untuk dikaji lebih dalam karena beberapa alasan. Antara lain adalah belum adanya penelitian ilmiah yang secara serius mengkaji masalah ini, disamping itu Kerajaan BM yang telah masuk Islam pada tahun 1880 namun tidak merubah bentuk Kerajaan-nya menjadi Sistem Kesultanan seperti yang terjadi pada Kerajaan yang ada di Yogyakarta, Ternate dan Gorontalo. Sistem politik yang dibangun dalam Kerajaan tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar bagi tercapainya akselerasi budaya dan etika pemerintahan kearah yang lebih baik. Masuknya pengaruh agama adalah salah satu indikator maju dan berkembangnya nilai moralitas dalam pelaksaan pemerintahan Kerajaan. Lantas apakah Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru bergabung dengan NKRI pada tahun 1950 memiliki fakta historis tentang sistem politik yang dibangun pada pemerintahannya? Bagaimana pula sesungguhnya stuktur sosial yang ada di wilayah Kerajaan BM. Landasan theologis yang tidak melakukan formalisasinya dalam sistem dan stuktur kerajaan BM menjadi Kesultanan dan implikasi sosial pasca runtuhnya Kerajaan adalah beberapa faktor yang juga dijelaskan pada bab-bab dalam tesis ini.





B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut :

    1. Bagaimanakah sistem pemerintahan kerajaan Bolaang Mengondow sebelum dan sesudah masuknya Belanda?

    2. Bagaimana stuktur sosial yang dibangun dalam pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow?

    3. Mengapa setelah Islam masuk ke wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, kerajaan BM tidak berubah menjadi kesultanan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


              1. Tujuan Obyektif

    1. Mengkaji bagaimana sistem Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah imperialisme Belanda

    2. Menganalisis bagaimana struktur masyarakat yang ada dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongodow.

    3. Mengkaji mengapa setelah masuk Islam, Kerajaan Bolaang Mongondow tidak melakukan konversi menjadi Kesultanan

              1. Tujuan Subyektif

  1. Dapat memperoleh data yang konkrit yang berkaitan dengan obyek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-2 pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Program Studi Ilmu Studi Politik dan Pemerintahan Islam

  2. Memperoleh tambahan pengetahuan mengenai sejarah Nusantara yang secara khusus menukik pada sistem Politik Kerajaan yakni pemerintahan dan struktur sosial yang ada di daerah Bolaang Mongondow.

    1. Kegunaan Penelitian

a). Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi teraplikasinya nilai-nilai luhur warisan masa lampau dalam aktifitas politik lokal atau bahkan Nasional. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjaga kontinyuitas sejarah dan keutuhan nilai budaya Bangsa.

b). Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keragaman budaya, strata sosial dan bentuk pemerintahan Kerajaan di daerah, yang akan bermanfaat bagi rekonstruksi sejarah Nasional bangsa Indonesia. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan literatur bagi daerah juga terhadap mereka yang ingin mendalami ilmu-ilmu sosial seperti ; politik, Agama dan budaya.

D. Kajian Pustaka

Penulisan sejarah yang dilakukan oleh Bernard H. M. Vlekke pada bab II, tentang Kerajaan-kerarajaan Jawa dan Sumatra (2008), mendeskripsikan secara menarik mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan munculnya Kerajaan.

Disamping pembahasan tentang masalah kepercayaan dan ekonomi, tulisan ini membahas juga mengurai persoalan politik. Ketegangan politik yang berujung perang antara Kerajaan Jawa dan Sumatra (Sriwijaya), meskipun tidak diketahui apa hasilnya? Yang pasti Bernard menilai kedua Kerajaan ini saling menyerang satu sama lain, hingga keduanya pernah dikalahkan dan mengalahkan satu sama lain.

Memperhatikan penulisan sejarah Kerajaan Jawa dan Sumatra oleh Bernard diatas, kita dapat melihat bahwa uraian yang disampaikan lebih fokus pada dinamika keberagamaan (religuisitas), kondisi Ekonomi dan Perang dan sedikit tentang perkembangan dan keruntuhan Kerajaan Jawa dan Sumatra.

Begitu juga Studi sejarah yang dilakukan oleh Edward L. Poelinggomang tentang Kerajaan Mori Sejarah dari Sulawesi Tengah (SULTENG) 2008, penelitian Edward membahas tentang proses sejarah Kerajaan Mori Sulawesi Tenggara yang menekankan bahwa perkembangan Kerajaan Mori dari tahun 1580-1950 dimulai dari keinginan masyarakat untuk membentuk Kerajaan. Pembentukan kerajaan Mori pertama berpusat di Wawontuko yang juga sebagai pusat pemerintahan, dengan Raja pertamanya Mokole Moiki.5 Dengan mengawali pembahasan pada masyarakat dan kebudayaan, tulisan ini ingin menggambarkan kondisi sosial masyarakat Mori, kemudian pembentukan kerajaan, perang, pengaruh penjajah dalam pemerintahan kerajaan dan diakhiri dengan perjuangan kemerdekaan.

Meskipun penelitian diatas termasuk penelitian sejarah kerajaan, namun belum memberikan gambaran yang utuh tentang sebuah sistem politik kerajaan, penelitian ini juga kurang menyentuh pada peran strategis agama sebagai moral power dalam pemerintahan kerajaan. Posisi penelitian ini lebih pada deskripsi sejarah lokal dengan pembahasan yang begitu beragam.

Begitu juga dengan tulisan tentang budaya atau adat Bolaang Mongondow. telah banyak tokoh yang memberikan perhatian tentang hal ini, namun karya ilmiah dalam bentuk tesis/disertasi yang lebih fokus terhadap sistem politik Kerajaan Bolaang Mongondow masih kurang diminati, kecuali makalah pribadi ataupun tulisan/laporan perwakilan Belanda untuk wilayah ini beberapa tahun silam. Tulisan pribadi tentang sistem pemerintahan Punu6 Bolaang Mongondow karya Chaerul Makalalag 2006, tentang Mokodoludut dan Pemerintahan Punu di Bolaang Mongondow sedikit memberikan gambaran mengenai sistem Pemerintahan pra-kerajaan yang dibangun di Bolaang Mongondow yang layak untuk peneliti lanjutkan.

Meskipun memiliki kesamaan dalam beberapa aspek seperti politik, budaya dan beberapa hal penting lainnya, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti jelas berbeda dengan studi-studi politik dan pemerintahan Kerajaan diatas. Perbedaan tersebut antara lain adalah pada topik yang akan dibahas dan pada locus/tempat penelitian yang dipilih nanti. Selanjutnya, penelitian dan penulisan tentang sistem politik kerajaan Bolaang Mongondow masih sangat sederhana dan disamping itu, informasi awal berdasarkan studi lapangan oleh peneliti bahwa penelitian ilmiah yang fokus pada sistem pemerintahan dan struktur sosial Kerajaan Bolaang Mongondow termasuk belum ada.

E. Kerangka Teoritik

Sistem politik, secara etimologis terdiri atas dua kata ”sistem” dan Politik”. Secara leksikal sistem mengadung makna metode; cara yang teratur; susunan cara, secara terminologi sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian. Yang kait mengkait satu sama lain. Anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya. 7sedangkan politik mangandung makna ilmu kenegaraan atau tata negara.8 Mengenai definisi politik, Isjwara menyimpulkan sebagai berikut : politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan; teknik menjalankan kekuasaan; masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan; atau pembentukan kekuasaan.9 Jika dianggap sebagai ilmu, maka politik pada umumnya dapat dikatakan adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policeis) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber dan resouces yang ada.10 Secara terminologi sistem politik dimaknai sebagai organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencari tujuan-tujuan bersama mereka.11

Menurut Miriam Budiarjo, diantara konsep-konsep pokok behavioralis tentang tingkah laku politik menyebutkan bahwa penelitian politik bersifat terbuka terhadap konsep-konsep, teori-teori dan ilmu sosial lainnya. Dalam proses interaksi ilmu-ilmi sosial lainnya misalnya dimasukkan istilah baru seperti sistem politik, fungsi, peranan, struktur, budaya politik dan sosialisasi politik disamping istilah lama seperti negara, kekuasaan, jabatan, instituta pendapat umum dan kewarganegaraan.12

Berkaitan dengan masalah diatas, sebagai sebuah sistem, sistem politik secara teoritis memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

      1. Ciri-ciri identifikasi, yaitu unit-unit dasar yang berwujud tindakan-tindakan politik yang membentuk peranan politik. Suatu sistem politik adalah semua tindakan yang berkaitan dengan pembuatan keputusan yang mengikat masyarakat.

      2. Input dan output. Sistem politik memiliki konsekuensi yang penting bagi masyarakat, yaitu keputusan yang sah (otoritatif). Konsekuensi ini disebut output. Untuk menjamin suatu sistem diperlukan, maka diperlukan input-input, untuk itu diperlukan usaha mengunbah input menjadi output melalui proses transformasi.

      3. Difensiasi dalam suatu sistem. Lingkungan memberikan energi untuk mengaktifkan suatu sistem serta informasi tentang arah penggunaan energi, dengan cara ini sistem dapat melakukan pekerjaannya.

      4. Integrasi dalam suatu sistem. Fakta tentang diferensiasi mengatur kekuatan yang selalu berubah yang dapat merusak integrasi sistem. Sistem harus memiliki mekanisme yang bisa mengintegrasi atau memaksa anggotanya untuk bekerjasama walaupun dalam kadar minimal sehingga mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang sah (otoritaif).13

Selanjutnya menurut Affan Gafar, untuk memahami sebuah sistem politik, maka perlu pengembangan yang serius teori tentang budaya politik. Sebagaimana yang dikatakan Almond dan Verba bahwa basis budaya politiklah yang membentuk demokrasi. Budaya politik menurut mereka merupakan sikap invidu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami internalisasi kedalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive, affective dan evaluative,14 yang pertama menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibu kota negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai dan sebagainya,yang kedua menyangkut ikatan emosional yang dimiliki individu terhadap sistem politik dan yang ketiga menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya. Studi-studi ini sekaligus berkaitan erat dengan pemerintahan dan juga stuktur sosial.

Sebagai sebuah sistem, Sistem politik tentu saja berlaku secara umum dalam ilmu sosial, seperti kekuasaan, pemerintahan, negara atau kerajaan dan lain sebagainya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa secara historis bentuk penguasaan terhadap tatanan kehidupan masyarakat dan wilayah dimana mereka hidup, secara klasik masih menggunakan kekuasaan yang umumnya dikenal dengan istilah monarki atau kerajaan. Sistem kerajaan tentunya tidak lepas dari fenomena politik yang berada dan berkembang dizamannya. Kerajaan sebagai sebuah pemerintahan tentunya tidak lepas dari politik, entah ia sebagai seni, ilmu atau alat untuk merebut, menjalankan dan atau mempertahankan kekuasaan tersebut. Oleh sebab itu definisi tentang politik cenderung memiliki korelasi dengan definisi mengenai pemerintahan.

Sistem politik dalam kaitannya dengan struktur sosial, menurut Maurice Duveger, struktur sosial dapat dibagi dalam tiga golongan : ketrampilan teknologi, lembaga-lembaga dan kultur. Ketrampilan teknologi adalah cara-cara yang dipergunakan manusia untuk mengolah benda-benda, alat-alat, mesin, dan seterusnya. Lembaga-lembaga adalah alat mempertahankan ketertiban sosial yang mapan (stabil)- status hukum keluarga, undang-undang yang megatur barang dan milik dan konstitusi politik. Kultur adalah keyakinan, idiologi, dan ide-ide kolektif yang umumnya dianut oleh komnitas tertentu.15

Sistem politik kerajaan, meskipun cenderung otoriter dan sentralistik, perlu untuk diketahui dan dipelajari sebagai bagian dari etape sejarah peradaban manusia. Sistem politik sebagai rangkaian tehnis pelaksanaan pemerintahan kerajaan, adalah proses awal menuju suatu tatanan pemerintahan yang lebih humanis dan demokratis. Hal inilah yang terjadi sebagaimana dalam sejarah Yunani klasik, dimana konsep negara-kota dan demokrasi telah lahir bersamaan dengan terintegrasinya sistem kerajaan dalam demokrasi tersebut. Henry J. Schamandt menjelaskan bahwa pemerintahan Sparta (Yunani) benar-benar sentralistik meskipun bentuknya kompleks.16

F. Metode Penelitian

a). Pendekatan Penelitian

Dengan melandaskan pada judul penelitian diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode kualitatif . Pendekatan kualitatif berusaha memahami sistem politik Kerajaan Bolaang Mongondow dengan menitik beratkan pada fenomena sistem politik Kerajaan berdasarkan studi dokumen dan informasi dari masyarakat.17 Penelitian ini juga berusaha menggunakan analisis sejarah guna mendapatkan data yang sesuai. Menurut Weber sebagaimana yang dikutip Dudung Abdurrahman, secara metodologis penggunaan sosiologis dalam sejarah adalah bertujuan memahami arti subjektif dari kelakuan sosial bukan semata-mata meneliti arti objektifnya.18 Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kontekstual yang berusaha menekankan pada pemaknaan suatu fenomena yang secara spesifik berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

b). Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian digunakan untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya dari obyek penelitian. Kesesuaian dilapangan dapat diperoleh dengan jalan peneliti berangkat ke lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang suatu fenomena dalam keadaan alamiah.

Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bolaang Mongodow Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi penelitian ini disesuaikan dengan tempat dimana Kerajaan Bolaang Mongodow pernah eksis dan berkuasa serta akhirnya menyatakan diri bergabung dengan NKRI pada tahun1950.

c). Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer merupakan sumber yang yang langsung memberikan data kepada peneliti. Sumber primer ditentukan secara purposive sampling. Artinya menentukan informan yang dipandang sangat mengetahui tentang sistem politik Kerajaan Bolaang Mongondow sehingga data yang didapatkan secara maksimal.19. Sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data, yang dalam hal ini lewat catatan dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, yang berfungsi sebagai pelengkap data primer.

d). Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam (indepth interviewing), dan analisis dokumen20. Teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1). Observasi partisipatif (participant observation)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tentang kondisi yang terjadi. Dalam pengumpulan data, peneliti melibatkan diri secara aktif di lapangan, melibatkan diri dalam kegiatan pengumpulan data.

2). Wawancara (interview)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui informasi yang lebih detail dan mendalam dari informan. Wawancara dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur atau wawancara bebas, di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan terkait tata pemerintahan, peranan Islam dan pengaruh keduanya dalam sistem politik Kerajaan Bolaang Mongondow. Peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh informan tentang topik yang ditawarkan. Dengan demikian informan merasa bebas menggunakan pikiran mereka. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari informan tersebut, selanjutnya peneliti mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya yang lebih terarah dengan masalah penelitian.

3). Diskusi Kelompok

Untuk mendapatkan informasi yang beragam dan relefan tentang Sistem Politik Kerajaan BM, dalam penelitian ini digunakan diskusi kelompok terfoku 21, atau dikenal dengan istilah Fokus Group Discussion (FGD) Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat akurasi data yang dapat dipercaya dengan mengumpulkan beberapa tokoh masyarakat : Sejarawan, Budayawan, tokoh Agama, Akademisi, Keturunan Raja dan beberapa tokoh masyarakat dalam diskusi atau dialog terbatas untuk mendapatkan informasi yang banyak terhadap masalah yang ada dalam penelitian ini. Pemilihan sample ini juga untuk mempertimbangan variasi dari berbagai ciri atau elemen karakteristik masyarakat. Sehingga hasil penelitian ini dapat mengungkap fakta sejarah dari berbagai elemen masyarakat.

4). Studi Dokumen

Teknik lain yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah studi dokumen. Dokumen berupa catatan khusus, buku harian arsip pemerintahan dan lain sebagainya.22 Dalam studi dokumentasi dilakukan interpretasi dan kritik terhadap dokumen secara internal mapun eksternal.23 Deddy Mulyana, mengatakan bahwa disamping pengamatan dan wawancara dapat dilengkapi dengan analisis dokumen, seperti otobigrafi, catatan harian, artikel, surat pribadi, berita Koran, artikel majalah, brosur, buletin, foto yang secara memadai menggambarkan pengalaman hidup.24

e). Analisis data

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Interactif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yang dimulai dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Proses analisis data dilakukan secara terus menerus di dalam proses pengumpulan data selama penelitian berlangsung25. Uraian model analisis data tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1). Reduksi data

Setelah data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi, proses selanjutnya adalah reduksi data. Aktivitas yang dilakukan adalah memilih dan memilah data mana yang dianggap relevan dan penting yang berkaitan dengan sistem politik Kerajaan Bolaang Mongondow. Sedangkan data yang tidak berkaitan dengan permasalahan penelitian dibuang.

Data yang belum direduksi berupa catatan-catatan lapangan hasil pengamatan, dan data hasil wawancara berupa informasi-informasi yang diberikan informan yang tidak berhubungan dengan masalah penelitian. Data tersebut direduksi dengan mengedepankan data-data yang penting membuang data yang tidak penting dan yang tidak relevan. Data yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk laporan penelitian. Dengan demikian, maka gambaran hasil penelitian akan lebih jelas.

2). Penyajian data

Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap data yang telah direduksi, maka data tersebut selanjutnyadalam bentuk teks naratif (pengungkapan secara tertulis). Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mendeskripsikan hasil temuan, sehingga dengan demikian, memudahkan untuk mengambil suatu kesimpulan.

3). Menarik kesimpulan/verifikasi

Data yang sudah disajikan, kemudian difokuskan dan disusun secara sistematik dalam bentuk naratif. Selanjutnya melalui induksi, data tersebut disimpulkan sehingga makna data dapat ditemukan dalam bentuk tafsiran dan argumentasi.

Dengan memperoleh data dari beberapa teknik diatas maka peneliti kemudian melakukan analisis terhadap bentuk pemerintahan dan struktur sosial yang ada pada Kerajaan Bolaang Mongondow untuk kemudian mendapatkan jawaban yang rasional atas beberapa pertanyaan dalam rumusan masalah.

G. Sistematika Pembahasan

Tulisan ini terdiri atas lima bab, yang meliputi satu bab pendahuluan, tiga bab merupakan pembahasan dan satu bab penutup. Pada bab pendahuluan dijelaskan aspek-aspek motodologi dari penelitian yang meliputi latar belakang masalah sehingga masalah ini diangkat menjadi sebuah penelitian ilmiah, rumusan dan batasan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika penulisan.

Bab-bab pembahasan meliputi bab dua yang membahas tentang sistem politik dalam dekapan definisi. Sub bab ini terdiri atas, pengertian sistem politik, lembaga-lembaga dalam sistem politik, Struktur dan tipologi sistem politik dan sistem politik dalam persfektif Islam.

Bab tiga membahas sekilas tentang kerajaan Bolaang Mongondow yang terdiri atas dua sub bab, yakni tentang fakta atau letak geografis kerajaan Bolaang Mongondow, upaya menuju pemerintahan kerajaan Bolaang Mongondow dan struktur pemerintahan kerajaan awal.

Bab empat membahas tentang sistem pemerintahan kerajaan Bolaang Mongondow dengan sub bab, yakni mekanisme pengangkatan raja, kelengkapan/atribut kerajaan dan lembaga-lembaga dalam pemerintahan kerajaan

Bab lima membahas tentang struktur sosial kerajaan Bolaang Mongondow yang terdiri atas, ketrampilan teknologi, lembaga-lembaga dan kultur.









H. Daftar Isi Sementara

Untuk mewujudkan penulisan yang sistematis, maka penulis menguraikan daftar isi sebagai berikut :


BAB I : PENDAHULUAN

          1. Latar Belakang Masalah

          2. Rumusan Masalah

          3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

          4. Kajian Pustaka

          5. Metodologi Penelitian

          6. Sistematika Penulisan



BAB II : SISTEM POLITIK DALAM DEKAPAN DEFINISI


  1. Pengertian Sistem Politik

  2. Sistem Politik dalam Persfektif Islam

  3. Sistem Politik dan Pemerintahan

  4. Sistem Politik dan Struktur Sosial


BAB III : Gambaran Umum Kabupaten Bolaang Mongondow


  1. Letak Geografis

  2. Tofografi

  3. Demografi

  4. Kondisi Sosial Budaya

  5. Kondisi Agama


BAB IV : Sistem Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow


  1. Mekanisme Pengangkatan Raja

  2. Kelengkapan Fasilitas Kerajaan

  3. Lembaga-lembaga dalam kerajaan

  4. Distribusi Kekuasaan dalam kerajaan


BAB V : Struktur Sosial dalam Kerajaan Bolaang Mongondow


A. Ketrampilan dan Kesenian Masyarakat

B. Hukum Adat yang Berlaku bagi Masyarakat

C. Kebudayaan dan Keyakinan


BAB V : PENUTUP


  1. Kesimpulan

  2. Saran

1 Sering juga disingkat “Bolmong”, Belanda menyebut “Bulan”, beberapa daerah disekitarnya menggunakan kata Bolmong untuk menyebut kabupaten Bolaang Mongondow. Selanjutnya dalam penelitian ini disingkat “BM”

2 Www. Bolmong. Com. Diakses pada tgl, 23 Januari 2009

3 A.T. Mokobombang, Napak Tilas Mengikuti Jiwa dan Jejak Merah Putih Kawasan Utara Propinsi Celebes, 1995, (belum diterbitkan)

4 Wilayah Bolaang Mongondow Utara hasil Pemekaran dari KabupatenBolaang Mongondow berdasarkan data Panitia Pemekaran Bolmong Utara tahun 2007

5 Edward L. Poelinggomang, Kerajaan Mori Sejarah dari Sulawesi Tengah SULTENG (Jakarta : Komunitas Bambu, 2008) h. 53-54

6 Punu adalah nama bagi setiap Pemimpin Masyarakat Bolaang Mongondow yang kemudian terminology ini bermetamorfosis menjadi Raja.

7 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan, ( Bandung : CV. Mandar Maju, 2007) hlm. 108

8 Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, ( Surabaya: Gita Media Press, 2006), hlm 378 dan 441

9 Mr. Kurnia, dkk. Meretas jalan menjadi politisi tranformasi (Bogor : Al-Azhar Press, 2004), hlm. 4

10 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 8

11 Syahrial Syahbaini [dkk], Sosiologi dan Politik, ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 61

12 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar... Ibid, hlm. 5

13 Syahrial Syahbaini [dkk], Sosiologi... Ibid, hlm. 59

14 Affan Gaffar, Politik Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 99

15 Mautice Duverger, Sosiologi Politik, terj. The Study of Politics oleh Daniel Dhakidae, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 78

16 Henry J. Schamandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 43-45

17 Masyarakat yang dimaksud diatas adalah mereka yang memiliki hubungan dengan topik penelitian ini dan diusahakan mereka (masyarakat) yang terlibat langsung dalam sejarah.

18 Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta : Ar-Ruzmedia, 2007) h. 23

19 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12, 2002), h. 15.

20 Lihat John W.Creswell, Research Design; Qualitative and Quantitative Approaches, (Jakarta: KIK Press, 2002), h. 143.

21  Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, Al Fabeta, 2005), hlm. 76

22  Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 45

23  Irawan Suehartono, Metode Penelitian Ilmu social, (sutau teknik penelitian bidang kesejahteraan social dan ilmu social lainnya (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 71.

24  Deddy Muyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu social, Cet. Ke tiga, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 195.

25 Miles dan Huberman dalam Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 93.